Banyak orang lain mungkin hanya memandang sekilas Pacific Rim sebagai film model-model Transformers, robot-robot besar bertarung di tengah kota dan sebagainya yang menjanjikan keseruan. But no, Pacific Rim bukan cuma itu. Bagi yang akrab sama budaya populer Jepang (while technically Transformers juga konsep aslinya dari Jepang), Pacific Rim adalah sebuah penggenapan harapan akan adanya perlakuan skala raya dari aksi fantastikal ala anime, tokusatsu, dan (yang istilahnya dipakai di film ini) kaiju. Bagi yang tumbuh di era 80-90-an sebagian pasti kenal akan aksi "Ultraman" atau "Goggle V" dan seri super sentai/rangers lainnya, atau "Voltes V" atau "Voltron", atau kalau mau rada serius dikit *halah* macam "Patlabor" dan seri "Gundam" (bacanya gan-dam), dan banyak lagi anime yang menampilkan robot tempur besar yang dikendalikan manusia dari dalam—istilahnya mecha, singkatan dari mechanical—manapun yang bisa ditemukan di majalah Animonster. Sementara udah berabad-abad rumor Hollywood mau bikin versi live action dari "Neon Genesis Evangelion" nggak jadi-jadi, maka saat ini juga, terimalah Pacific Rim, persembahan orisinil dari master fantasi Guillermo del Toro (Hellboy, Pan's Labyrinth), yang sendirinya mengaku sangat terpengaruh pada film-film monster raksasa/kaiju dari negeri sakura macam Godzilla dan Gamera. Dengan film ini, del Toro telah "bersalah" membangkitkan kembali fantasi masa kecil Anda sekaligus memperkenalkannya pada adik/anak Anda, with a big, big bang.
Pacific Rim dimulai dengan
penggambaran situasi darurat global, well
khususnya di garis pantai samudera Pasifik (thus, the title), karena monster-monster raksasa yang kemudian
disebut Kaiju—dan masing-masing diberi kode nama lucu-lucu, datang dari portal
di dasar laut yang terhubung dengan dimensi lain, menyerang kota-kota padat
penduduk. Kesulitan dan kewalahan melawan dengan senjata konvensional (dan
tentu saja bahaya kalau langsung pake nuklir), pemerintah-pemerintah dunia
bersatu dan membuat Jaeger (bacanya yéy-ger), teknologi mecha raksasa yang mengikuti gerakan fisik dua orang (atau
lebih) di dalamnya, agar dapat mengimbangi, berhadapan langsung, dan
mengalahkan Kaiju lebih cepat dan efisien. Namun Kaiju semakin sering muncul
dan semakin kuat, teknologi Jaeger kerap tertinggal. Lebih dari satu dekade
sejak perang dimulai, pemerintah-pemerintah lebih berkonsentrasi membuat tembok
pertahanan dan tidak menyokong teknologi Jaeger lagi, dan kini tinggal beberapa
unit Jaeger yang berfungsi. But,
surprise, tembok pertahanan pun nyatanya bisa ditembus Kaiju dengan mudahnya.
Kisah utama dimulai ketika mantan
pilot Jaeger, Raleigh Becket (Charlie Hunnam) dipanggil lagi oleh Marshal
Stacker Pentecost (Idris Elba) untuk naik Jaeger lagi. Raleigh awalnya menolak
karena trauma mitra sekaligus kakaknya, Yancy (Diego Klattenhoff) tewas ketika
bertugas bersamanya, namun Pentecost berhasil membujuknya karena mengaku punya
rencana dan berjanji akan menemukan mitra yang baru. Raleigh kemudian diangkut
ke markas terakhir Jaeger di Hong Kong yang disebut shatterdome *tsaah* untuk bersama pilot-pilot dan unit-unit
Jaeger yang tersisa—ada dari Hong Kong, Australia dan Rusia—mempersiapkan
sebuah skema menghancurkan portal yang menghubungkan Bumi dengan tempat asal
Kaiju, untuk menghentikan peperangan ini selama-lamanya *latar musik heroik*
Jika dikatakan Pacific Rim adalah the closest thing to live action version of
mecha anime, itu ada benarnya. Buat gw Pacific Rim itu anime banget.
Entah disengaja atau tidak, selalu ada feel
anime di sepanjang filmnya, baik dari cerita, karakterisasi, dialognya,
ke-sok-serius-annya, bentuk wajah para aktornya, bahkan sampai pada adegan
ngobrol/makan berlatar mecha
yang sedang parkir, dan juga tokoh-tokoh multinasional dengan nama aneh-aneh
kecuali nama orang Jepangnya =D. Dalam situasi lain, hal seperti ini akan
sangat cheesy, tetapi dalam
situasi dunia diserang monster dari dimensi lain, why the hell not? Ketimbang terlalu serius dan merasa terganggu
dengan minimnya pengembangan karakter dan plotnya yang ringan dan tidak
revolusioner, gw malah semakin terbawa masuk dalam dunia Pacific Rim yang luas
dan penuh warna serta memuat berbagai elemen mendetil dari penjabaran tentang
asal muasal Kaiju, ke mana larinya penduduk awam ketika kota porakporanda,
sampai ke dampak sosialnya (komersialisasi, pasar gelap, dan sebagainya).
Memang muatan yang sebenarnya banyak itu tidak bisa ter-cover sempurna jika harus menjaga durasinya. Tapi buat gw, dalam
durasinya yang mencapai 2 jam 10 menit di hasil akhirnya, penyederhanaan
kisahnya masih oke dan mudah diikuti tanpa ada kehilangan yang terlalu. Human story-nya tetap menggerakkan
laganya, laganya pun terarah dan tidak tak beralasan, nggak ada
kebingungan whatsoever.
Dan itu bagus.
Akan tetapi menurut gw yang jadi
jawara dari Pacific Rim adalah penataan gambarnya. Sure, pertarungan Jaeger vs Kaiju-nya spektakuler—and I mean extreeemely spectacular—dengan
berbagai efek visual canggih ditambah tata suara yang apik yang bikin gw
"waah" "aish" "oughh" "iigh" dan
seterusnya. Namun di atas semuanya itu, gw lebih jatuh cinta pada padunya
kinerja sinematografi dan tata artistik dalam memproyeksikan dunia fantasi
Guillermo del Toro ini. Permainan warna yang sangat bold dari tata cahayanya yang merupakan signature dari sutradara Meksiko yang
satu ini tampil lebih "liar" lagi. Hampir pasti nggak cuma ada satu
warna dalam satu gambar, pasti ada warna-warna yang saling kontras menyala
(misalnya latar biru tapi aktornya kuning) yang menyatu apik dalam satu
bingkai, terutama di dalam ruangan, apalagi di dalam kokpit Jaeger, dan lebih
lagi di jalanan kota Hong Kong di malam hari. Color coordination yang ayu tenan ini semakin memaksimalkan
feel fantasinya. Demikian pula
konsistensi skalanya, perbandingan ukuran robot dan manusia ditata sedemikian
rupa sehingga terasa banget itu gedenya—dan juga efek gerakannya yang agak
lambat karena beratnya =D—yang sayangnya sedikit terdistraksi kalau disaksikan
dalam format 3-dimensi.
So, Pacific Rim ini memenuhi ekspektasi gw. Kekurangannya
mungkin hanyalah dia tidak melebihi ekspektasi gw itu. Jalan ceritanya
nggak unexpected, kurang
mengeksplorasi emosi lebih mendalam atau juga humornya nggak sampai
"meledak", tetapi itu bukanlah masalah besar buat gw. Pacific Rim
bisa membawa ceritanya dengan solid dan hubungan antar tokoh yang cukup jelas,
penjelasan fiksi ilmiahnya juga logis, production
value superkeren, tata musik yang juga asyik. Permainan aktornya
sih nggak seberapa, mungkin highlight-nya
pada Idris Elba satu-satunya aktor di film ini yang dapat mengujarkan
dialog-dialog cheesy dengan
meyakinkan, Rinko Kikuchi sebagai Mako Mori yang Japanese-ly awkward-nya dapet (yaiyalah) dan Mana Ashida sebagai
Mako cilik yang mencuri perhatian, juga Charlie Day sebagai Dr. Newt yang surprisingly tampil tidak menyebalkan
dengan suaranya yang menyebalkan itu. O
wait, kok gw hampir lupa nyinggung desain Jaeger yang tegap keren-keren
dan Kaiju yang eksotik-ngeri-tapi-cantik, ya? Ah kerenlah pokoknya. Robot
raksasa lawan monster raksasa, dengan tokoh utama yang bukan unggulan tapi
membuktikan ketangguhannya? The child
in me hendak berseru ini film paling keren tahun ini. The adult me tinggal menyatukan
pikiran the child in mesepanjang durasi.
sumber: http://ajirenji.blogspot.com/2013/07/movie-pacific-rim-2013.html
sumber: http://ajirenji.blogspot.com/2013/07/movie-pacific-rim-2013.html